Dampak Lottery Terhadap Ekonomi dan Psikologi Pemain. Di 2025, lottery menyumbang lebih dari 100 miliar dolar per tahun untuk anggaran publik di berbagai negara, terutama untuk pendidikan, infrastruktur, dan program sosial. Di sisi lain, survei global menunjukkan 1 dari 10 pemain reguler menghabiskan lebih dari 10% pendapatan bulanan mereka untuk tiket. Dampaknya ganda: lottery menjadi sumber pendapatan negara yang signifikan sekaligus memicu perdebatan panjang soal pajak regresif dan efek psikologis jangka panjang terhadap pemain. REVIEW FILM
Kontribusi Ekonomi yang Nyata: Dampak Lottery Terhadap Ekonomi dan Psikologi Pemain
Rata-rata 25–35% dari total penjualan lottery langsung masuk kas negara atau program khusus. Di beberapa wilayah, dana ini menutupi hingga 8% anggaran pendidikan dasar dan membiayai beasiswa, taman kota, bahkan rumah sakit. Ketika jackpot bergulir besar, penjualan melonjak 300–500%, menciptakan efek multiplier: toko kecil untung, pajak penjualan naik, dan karyawan lottery mendapat bonus. Tanpa lottery, banyak pemerintah harus menaikkan pajak penghasilan atau memotong layanan publik. Inilah alasan utama mengapa hampir semua negara yang pernah mencoba melarang lottery akhirnya melegalkannya kembali.
Beban pada Kelompok Berpenghasilan Rendah: Dampak Lottery Terhadap Ekonomi dan Psikologi Pemain
Lottery sering disebut “pajak sukarela atas orang miskin”. Data menunjukkan rumah tangga dengan pendapatan tahunan di bawah 30.000 dolar menghabiskan rata-rata 5–9% pendapatan mereka untuk lottery, sedangkan kelompok berpenghasilan tinggi hanya 1%. Ketika ekonomi sedang sulit, penjualan justru naik karena orang semakin putus asa mencari jalan keluar cepat. Efeknya: pengeluaran untuk kebutuhan primer seperti makanan dan kesehatan tertekan, dan utang kartu kredit meningkat. Studi jangka panjang menemukan bahwa 3–5 tahun setelah jackpot besar, 70% pemenang individu bangkrut lagi—bukti bahwa kemenangan besar pun sering tidak menyelesaikan masalah finansial dasar.
Efek Psikologis: Harapan vs Kecanduan
Membeli tiket secara rutin menciptakan siklus dopamin yang mirip perjudian lain. Antisipasi menunggu pengundian memberi rasa “hidup” sementara bagi banyak orang yang merasa stuck dalam pekerjaan atau keuangan. Namun, ketika jadi kebiasaan, otak mulai menoleransi dopamin biasa—aktivitas lain terasa hambar. Sekitar 3–6% pemain reguler menunjukkan gejala kecanduan judi ringan hingga berat, termasuk berbohong pada keluarga, mengejar kerugian, dan mengabaikan tagihan. Yang lebih ironis, semakin sering seseorang kalah, semakin kuat keyakinan bahwa “kali ini pasti menang” (efek near-miss).
Kesimpulan
Lottery adalah pisau bermata dua: di satu sisi menyumbang miliaran dolar untuk fasilitas publik tanpa memaksa siapa pun membayar, di sisi lain memperlebar ketimpangan dan menciptakan jebakan psikologis bagi sebagian kecil pemain. Solusi realistis bukan melarang (karena akan muncul pasar gelap), tapi edukasi dan pengendalian yang lebih ketat: batas pembelian mingguan, pesan peringatan di tiket, dan alokasi sebagian keuntungan untuk program pencegahan kecanduan. Pada akhirnya, lottery akan tetap ada karena manusia butuh harapan—yang terpenting adalah memastikan harapan itu tidak mengorbankan terlalu banyak orang di sepanjang jalan.